Semua ini bermula dari semangat dan kebangkitan feminisme yang makin kuat masuk ke dalam pola pikir wanita masa kini. Pada akhirnya, gaya busana wanita yang terkesan feminin namun tetap mengandung unsur maskulin dan snob ala pria pun menjadi kebutuhan dasar dalam cara berpakaian kaum hawa.
Tak ada lagi istilah jas atau jaket pria, karena kini wanita punya jas dan jaket sendiri yang sesuai dengan karakternya. Tak ada lagi celana bergaya tuxedo, karena kini sudah ada smoking pants dan cigarette pants, yang sebenarnya diolah dari celana pria. Dan tak ada lagi kemeja maskulin, karena kini para perancang sudah siap menawarkan aneka blus cantik dengan model kerah kemeja berpotongan tegas namun sarat dengan detail dan aplikasi cantik.
Tujuan para perancang mengajak kita kembali ke kejayaan dunia mode di era terdahulu, mulai dari tahun '30-an, 40-an, 50-an, hingga '80-an, bukan semata tuntutan perputaran roda dalam industri mode. Ada keinginan dalam diri setiap perancang untuk tetap mendandani wanita sebagai wanita, meskipun di sisi lain mereka sangat setuju menempatkan wanita dalam posisi penting pada setiap aspek kehidupan.
Gaya retro yang cenderung memperlihatkan sisi domestik dan feminin wanita pun kembali diangkat dan dipopulerkan, untuk diolah, dimodifikasi, dan diadaptasi sehingga terlihat lebih modern dan outstanding!
Agar penciptaan karya para perancang yang disaksikan oleh ratusan pasang mata dan akan diulas oleh para jurnalis mode ini terlihat beda, mereka sepakat untuk menawarkan retro gaya baru yang sesuai dengan karakter dan gaya hidup wanita kini yang serba instan, taktis, dan praktis. Sebagian dari mereka mengolaborasikan gaya retro dengan unsur-unsur etnik dari budaya lain.
Ada yang memadukannya dengan budaya Jepang, India, dan Cina, ada juga yang memadukannya dengan budaya Yunani Kuno serta Indian. Sebagian lagi memilih untuk memadankan gaya retro dari suatu era dan budaya tertentu dengan retro dari eta dan budaya lain, atau memperkaya konsep retro nya dengan memainkan warna, motif, serta material yang terkesan saling bertabrakan. Hasilnya temyata cukup mengejutkan serta punya nilai kreativitas yang tinggi
Nilai komersial dari setiap potong busana kini juga semakin diperhitungan. Apalagi industri mode yang selama ini terkesan hanya dimonopoli oleh Eropa Barat dan Amerika, semakin terdesak dengan kebangkitan teknologi dan kreativitas para perancang busana dari kawasan Asia, khususnya Jepang, Korea, Taiwan, dan Cina. Karena alasan itulah, dibutuhkan konsep rancangan busana yang mendewakan' daya pakai dan kenyamanan, selain berdaya jual tinggi, yang berkaitan langsung dengan nilai komersial.
Jadi, tak perlu heran jika banyak koleksi para perancang dan label Inggris di London Fashion Week, terlihat lebih wearable dan simpel dibandingkan koleksi mereka beberapa tahun yang lalu. Kesiapan mereka untuk lebih memperhatikan daya beli dan daya pakai dari setiap kreativitas yang dituangkan pada sebuah busana, terlihat makin kuat dan nyata. Atmosfir seventies -lengkap dengan ideologi Woodstock yang menyebarkan semangat damai - mewarnai koleksi musim semi/panas 2005, dan terasa lebih ringan, cantik, berwarna, dan sarat kejutan.
Asimilasi budaya serta gaya Brit Pop yang eksentrik juga hadir pada rancangan mereka. Koleksi yang ditawarkan memang sangat sesuai dengan pola hidup wanita masa kini. Apakah ini bukti bahwa globalisasi dalam industri mode telah berhasil mem pengaruhi perancang London yang dianggap memiliki idealisme tinggi? Atau bukti bahwa mereka memang makin gemar mendandani wanita menjadi lebih cantik dan faktual?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.